Takbir dikumandangkan dengan begitu syahdunya. Senyuman manis datang dari mana saja, bahkan dari tumbuhan hijau yang sekarang ini tengah menari-nari bahagia. Aku sedikit tidak percaya. Sepertinya baru kemarin pertama kali melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Dan, ya, hari ini sudah memasuki hari terakhir bulan Ramadan. Idulfitri akan datang dan seluruh umat Islam sedang bersiap-siap menyambutnya dengan penuh suka cita, tidak terkecuali Sulastri. Ia sudah menunggu hari esok sejak berabad-abad yang lalu (dia tidak pernah berhenti membicarakannya).

“Suminem! Aku sudah tidak sabar menyambut hangat anak dan cucu-cucuku nanti!” Wajah Sulastri begitu bercahaya di hadapanku. Keriput-keriput di sekitar mukanya seakan menghilang dari tempatnya. Senyuman indah tercetak jelas di bibirnya. Oh, ia tengah menjadi manusia terbahagia sedunia.

Sulastri adalah sahabatku di wisma ini. Usianya saat ini terbilang 70 tahun. Ia datang sekitar beberapa bulan yang lalu dari ibu kota untuk menetap di sini, di Panti Jompo Jannati (dinamakan begitu sebagai doa, agar panti ini bisa senyaman surga dan mendatangkan surga bagi penghuninya). Katanya, ia sendiri yang meminta kepada keluarga kecil anaknya untuk dikirim ke panti jompo. “Aku tahu bahwa aku merepotkan di rumah anakku,” katanya saat itu. Ia berusaha menyunggingkan senyum, walau pun sedikit terpaksa.

“Kau beruntung sekali, Lastri. Memiliki anak dan cucu-cucu yang menyayangimu. Apakah aku masih bisa menjadi seberuntung dirimu?” gumamku sembari membayangkan memiliki cucu yang berkejar-kejaran dengan tubuh sehat dan bugar.

Jujur, aku iri dengan Sulastri yang saban hari selalu membicarakan keluarga manisnya. Sedangkan aku, hanyalah seorang lansia biasa yang tidak pernah dikaruniai anak. Suamiku sudah lama meninggal karena penyakit keras. Selain lansia, aku juga dapat disebut sebagai seorang janda tua yang terus-menerus menangis hingga memutuskan untuk menetap di panti jompo. Umurku saat itu 63 tahun dan kini sudah berumur 71 tahun. Bersyukur sekali rasanya masih diberikan kesempatan untuk bisa menghirup udara segar.

“Ah, Suminem! Kan sudah aku bilang, keluargaku adalah keluargamu juga!” Sulastri memukul pelan bahuku sebelum akhirnya datang Ningrum, teman sepantiku.

“Suminem, Sulastri! Ayo, jangan mengobrol terus. Mari kita membuat hidangan buka puasa bersama yang lain!” ajak Ningrum dengan hangat dan cukup tegas. Jika panti jompo ini dikatakan sebuah sekolah, maka ia adalah siswi yang tepat untuk dijadikan Ketua OSIS. Ia memiliki banyak ide segar yang berhasil ia tuangkan dalam tempat tinggal ini. Katanya, ia adalah mantan siswi teladan dengan banyak prestasi dan karyanya di Sekolah Rakyat dulu.

Aku dan Sulastri mengangguk mengiyakan. Waktu Magrib akan segera tiba.


[]


Lampu-lampu dinyalakan di sepanjang jalanan kompleks Panti Jompo Jannati. Para bintang berkedip-kedip bergantian dengan ditemani wali mereka, sebuah bulan. Sulastri tengah duduk di teras panti. Ia menyampirkan sebuah syal di lehernya yang tertutup dengan jilbab hijaunya. Ia memasang wajah harap-harap cemas. Sejak tadi keluarganya belum datang-datang. Ia bahkan sampai sibuk merapalkan doa demi menyambut anak-cucunya.

Aku menghampirinya perlahan. “Sulastri, sudahlah. Sekarang ini sudah malam, mari kita tidur. Esok hari kita harus bersiap-siap untuk melaksanakan salat Id,” tegurku lembut seraya menepuk pundak Sulastri secara perlahan.

Sulastri menatapku dengan tatapan muram dan tajam. “Tidak bisa, Suminem. Tidak bisa. Aku harus menunggu mereka. Rasyid sudah berjanji kepadaku: ia akan mengunjungiku setiap Idulfitri! Yang namanya janji tetap janji, Suminem! Rasyid tidak boleh mengingkari janjinya! Camkan itu,” tegas Sulastri. Butiran air mata sedikit demi sedikit terjun dari mata indahnya. Ia terisak-isak.

Aku terdiam sejenak. “Tapi, apakah kau tidak bisa menunggu di dalam saja? Udara di luar sini sungguh dingin, Lastri,” ujarku sembari melipat tanganku di depan dada dan menirukan suara orang yang kedinginan. Memang, angin saat itu sedang sepoi-sepoi dan menciptakan hawa yang dingin.

Sulastri tampaknya tidak ingin lagi menjawab pertanyaanku. Matanya begitu istikamah menatap ujung jalan yang tidak tahu menembus ke mana. Berharap sebuah mobil dari luar kota nan jauh di sana datang dengan tiba-tiba. Saat aku hendak berbalik, tiba-tiba Sulastri berdiri. “Aku juga mulai mengan—”

Belum selesai Sulastri mengatakan kata-kata selanjutnya, tiba-tiba datang sebuah mobil hitam dan berhenti tepat di depan wisma yang surga ini. Sulastri terkejut. Ia tiba-tiba tersenyum amat lebar. “Hei, Suminem! Keluarga kita sudah datang!” Ia mengguncang-guncang badanku.

Seorang pria keluar dari mobil itu, lalu mendekat kepada Sulastri dengan hangat. “Ibu! Sudah lama aku tidak melihat wajahmu. Oh, Ibu tampak awet muda sekarang!” tutur Rasyid, anak Sulastri yang sudah sering sekali kudengar namanya. Lalu ia menyalami lengan Sulastri dengan lembut, dilanjut dengan Arina, istri Rasyid yang—oh, ia cantik sekali! Jilbab kuning terbalut rapi di kepalanya, ditambah dengan senyuman indah yang terukir di mulutnya. Seperti seorang bidadari yang baru saja jatuh dari langit penuh rasi.

“Menantumu cantik sekali, Lastri,” bisikku pada Sulastri, “Anakmu jago sekali mendapatkan wanita secantik Arina.” Sehabis itu, Sulastri malah tertawa-tawa, lalu membagikan lelucon itu—sebenarnya ini bukan lelucon—pada Rasyid dan Arina. Lalu mereka tertawa renyah. Aku juga ikut-ikutan tertawa walau tidak terlalu niat.

Setelah tawa sedikit mereda, Sulastri mulai bertanya, “Di mana Raisa dan Abi, Rasyid?” Ia mengerutkan dahi. Sejak tadi cucu-cucu Sulastri belum kelihatan.

Belum sempat Rasyid menjawab pertanyaan ibunya, tiba-tiba dari dalam mobil terdengar teriakan menggelegar. “PAPAAA!” Teriakan seorang pemudi. Ada apa gerangan?

Rasyid terkejut dan bergegas ke mobil bagian tengah untuk membuka pintu mobil. “Ada apa, Raisa? Ayo segera bangunkan adikmu. Kita sudah sampai di tempat Eyang Lastri,” pinta Rasyid dengan pelan. Namun terlihat jelas di depan matanya bahwa Raisa menatapnya penuh garang. “Kenapa, Raisa?” Kepala Rasyid kemudian diserbu dengan beribu tanda tanya.

“PAPA KENAPA TIDAK MEMBAWA HANDPHONE-KU?!” Teriakan bergemuruh itu berhasil memanaskan suasana. Semua tampak terdiam, bahkan Abi yang sedang tertidur pulas di belakang mobil dibuat bangun karenanya. “KAN TADI SUDAH KUMINTA UNTUK BAWA SAAT AKU SEDANG MANDI!” Amarah Raisa semakin menjadi-jadi. Sebegitu cintanya ia pada balok tipis yang menyilaukan mata?

Sulastri tiba-tiba berjalan menuju tempat Rasyid, lalu melongokkan kepalanya ke dalam mobil. “Duuuh, Raisa! Tambah cantik saja kamu! Ayo turun dulu, Sayang. Besok, kita akan memulai hari paling luar biasa yang pernah ada!” seru Sulastri dengan begitu riangnya. Ia menatap wajah Raisa penuh bahagia. Sudah lama sekali ia tidak menatap cucu perempuannya sedekat itu.

“JANGAN DEKAT-DEKAT DENGANKU, NENEK LAMPIR!” sembur Raisa penuh amarah yang berapi-api. Wajahnya masih terlihat jelas bahwa ia habis terbangun dari tidur nyenyaknya. “AKU DATANG KE SINI HANYA KARENA KASIHAN DENGANMU! TIDAK KURANG DAN TIDAK LEBIH!!!” Ribuan pisau keluar bebas dari mulut kecil Raisa, lalu menusuk dan mengoyak-oyak hati Sulastri. Aku dapat merasakannya. Itu—itu sakit sekali. Pasti. Kemudian Sulastri mundur perlahan-lahan dari mobil hitam itu dengan wajah yang sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.

“RAISA!” Rasyid menyebut nama anak pertamanya dengan suara yang tidak kalah kencang dari pisau-pisau Raisa. Ia terlihat amat gatal ingin memarahi putrinya, namun ia memilih untuk menutup pintu mobil dan menghadap kepada ibunya. “Maafkan Raisa, Bu. Maafkan,” ujar Rasyid sambil berlutut pada Sulastri dan memeluk kaki ibunya. Sulastri mengusap-usap rambut lebat Rasyid yang rapi. Sulastri berusaha menciptakan senyum, namun terlihat sekali bahwa ia amat sulit mendapatkannya.

Teriakan Raisa tidak lama kemudian terdengar lagi. Kali ini menyuruh Rasyid dan Arini untuk pulang kembali ke rumah. Lalu suatu perdebatan penuh emosi kembali lahir dari keluarga kecil anak Sulastri. Namun, Raisa adalah Raisa. Ia tetap pada pendiriannya: “AKU INGIN PULANG!!!”

Hingga akhirnya, Sulastri angkat suara sembari menepuk punggung Rasyid pelan. “Sudah. Kalian lebih baik pulang saja,” katanya lembut, “sudah malam.”

Rasyid menatap ibunya dengan prihatin. “Tidak apa-apa, Bu?” tanyanya. Sulastri mengangguk pelan. Rasyid menggenggam tangan Sulastri. “Besok, Rasyid berjanji akan datang ke sini, Bu! Rasyid janji.” Sebuah janji lagi. Sepertinya Rasyid senang berdekatan dengan sebuah kata ‘janji’ yang memiliki berjuta makna di dalamnya; atau mungkin ia hanya sekadar bermain-main dengannya, kemudian membuangnya jauh-jauh dari pikiran.

Sulastri tersenyum. Lalu ia berbalik badan bersamaku menuju panti setelah dipastikan mobil hitam itu sudah pergi. “Ia sudah berjanji, Suminem. Ia sudah berjanji. Untuk yang kedua kalinya,” gumamnya penuh harap.


[]


Tengah malam, Sulastri tiba-tiba berteriak tidak karuan dalam tidurnya, “Anak muda zaman sekarang, benar-benar tidak tahu apa itu adab yang baik!” Aku yang saat itu sedang tidur di bawah kasurnya tiba-tiba terbangun. Saat kutengok, ternyata Sulastri mengigau, berlagak seperti orang yang penuh dengan emosi menggebu-gebu sembari menutup mata. “Pikirannya hanya bermalas-malasan dengan benda KOTAK pemecah silaturahmi!” lanjutnya penuh emosi.

Aku tertegun, Sulastri sedang menyinggung cucu perempuannya dalam tidurnya. Dan aku cukup setuju akan teriakan-teriakan Sulastri barusan. Ya, benar-benar menjijikan para pemuda-pemudi zaman sekarang!


[]


Hari ini salat Idulfitri akan digelar besar-besaran di masjid dekat panti jompo. Suasana hangat telah berhasil menciptakan kebahagiaan pada semua umat Muslim pada hari raya yang setahun sekali ini. Namun realitasnya, hari ini bukanlah hari yang luar biasa bagi Sulastri. Ia sibuk mengurung diri di bawah selimut bergambar tokoh kartun favoritnya: Doraemon. Saat diajak untuk bersiap-siap, ia hanya berkata lirih, “Aku tidak akan menjalani hari sebelum datang anakku Rasyid.”

Sulastri bergemul di bawah selimut sepanjang hari spesial itu. Saat semua sedang bermaaf-maafan, ia hanya bermaaf-maafan dengan bantal yang ditindihnya. Ketika semua saling berbagi uang untuk anak-anak, ia hanya saling berbagi tempat dengan guling kesayangannya. Di atas ranjangnya, ia bahkan melewatkan kesempatan untuk melaksanakan salat Id dan memakan kue nastar yang enaknya tiada tara. Tidak ada jiwa di dalam kamar itu selain dirinya sendiri. Teman mainnya saat itu hanyalah sebuah selimut yang bertugas melindunginya; guling sebagai sahabat yang siap dipeluk; dan bantal yang begitu empuk.

Sampai malam hari, Sulastri tidak juga beranjak dari balutan selimutnya. Aku berusaha membujuknya untuk sedikit berbincang-bincang, namun tidak ada tanda-tanda ia akan menanggapiku. Lama-lama aku jadi sungguh jengkel dengan Rasyid. Enak sekali ia mengeluarkan sebuah perjanjian dengan mulut busuknya itu—ah, ia tidak beda jauh dengan anak perempuannya.

Tiba-tiba, Ningrum datang dengan tergesa-gesa ke dalam kamar tempat Sulastri membuat kurungan. “Sulastri! Ada kabar buruk menimpa anakmu! Kata Ratih, anakmu dan keluarganya dikabarkan mengalami kecelakaan parah di perjalanan pulang dari Pantai Anyer. D-dan, anakmu, Rasyid, diberitakan bahwa ia meninggal,” tutur Ningrum dengan hati-hati. Ratih adalah pengasuh Panti Asuhan Jannati yang baik hati. Aku menganga tidak percaya mendengar penjelasan dari lansia penuh talenta barusan.

Tidak lama, Ningrum melanjutkan, “Dan alhamdulillahnya, menantu dan cucu-cucumu hanya mengalami luka-luka dan sudah dibawa ke rumah sakit terdekat di sana.” Ningrum lalu duduk di atas kasur Sulastri, di sebelahku. Ia memasang wajah harap-harap cemas, bersiap menyaksikan tanggapan hebat Sulastri atas kejadian buruk ini.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Sulastri bangkit dari pembaringan panjangnya dengan wajah yang amat datar, merasa tidak peduli dengan berita yang baru saja dilontarkan temannya. “Ada sisa makanan apa saja malam ini? Aku sudah lapar sejak tadi pagi,” celetuk Sulastri. Sungguh sebuah tanggapan yang di luar dari dugaanku dan juga Ningrum.

Aku mau pun Ningrum hanya membisu, memasang wajah yang amat tidak percaya.

Seperti yang kita tahu, lansia wanita yang sekarang sedang berjalan keluar kamar itu adalah Sulastri. Namun, hanya satu yang kita semua tidak akan pernah tahu: apa saja doa yang telah ia rapalkan kuat-kuat di dalam balutan selimutnya hari ini, kepada permainan janji yang memutari kepalanya dan memakan tubuhnya sedikit demi sedikit?[]


Tangerang, 26 November 2020.

1 comment: