Sebagai bagian dari Generasi Z, sudah tidak asing lagi bagi telinga kita ketika mendengar istilah media sosial. Sebuah media yang menyajikan berbagai macam hal baru di setiap waktu untuk para penggunanya, atau jika dalam KBBI, yaitu, laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dalam membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial.

Kalau boleh jujur, sudah sekitar tujuh tahun lamanya aku bersemayam dalam media sosial Instagram. Itu berarti saat aku kelas 2 SD, aku sudah membuat sendiri akun Instagramku. Berbeda lagi dengan Facebook. Aku sudah dibuatkan kakakku sejak aku duduk di kelas TK-A. And it was too young for me to comsuming social media. Walaupun gawai pertamaku diberikan saat sekitar kelas 4, aku sudah dapat merasakan sedikit bagaimana rasanya berseluncur di dunia maya. Bayangkan saja: sejak aku duduk di kelas TK-A! Sepuluh tahunku kuberikan untuk Facebook; tujuh tahunku kuserahkan untuk Instagram; dan beberapa waktuku kukasih kepada beberapa media sosial lainnya.

Sesuai dengan judul, sudah dapat ditebak bahwa aku memang menghapus sebagian besar akun media sosialku. Itu semua kulakukan bukan hanya sekadar menghapus tanpa alasan. Aku menghapus massal akun-akunku berdasarkan beberapa alasan yang akhirnya membuatku melakukan hal yang sebelumnya kuanggap 'berat' ini:


WAKTU DAN ADIKSI

Waktu memang begitu berharga. Satu detiknya seperti bongkahan emas yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Dengan cepat ia berputar dan terus berputar, seakan ia sama sekali tidak peduli dengan keluhan para manusia yang ingkar dengan putaran.

Dengan hadirnya media sosial, kita seakan menghabiskan banyak waktu dengan menatap layar media sosial kita. Awalnya hanya ingin bermain selama lima menit saja, tetapi lama kelamaan malah menjadi lima jam. Semakin lama, semakin candu.

Media sosial itu nyatanya bak narkoba, sekali pakai rasanya ingin mencobanya lagi dan lagi. Candu sekali. Hari-hari kita seakan seperti ada yang kurang jika tidak disertai dengan media sosial di tangan. Aku sudah berkali-kali merasakannya dan inilah salah satu alasan yang mendasari keputusanku.


KESEHATAN MENTAL

"The reason we struggle with insecurity is because we compare our behind-the-scenes with everyone else's highlight reel."
—Steven Furtick.

Tangan kita dengan lincah dan hati-hati menggulirkan layar media sosial kita, menonton pertunjukkan tawa dari postingan-postingan kerabat, sahabat, hingga selebritas kepada kita. Lalu kita terdorong untuk melakukan hal yang sama. Berekspresi dengan ceria, cekrek, kemudian disentuh oleh aplikasi-aplikasi perias foto, dan akhirnya kita mulai memosting foto atau video tersebut di akun kita dengan menambahkan caption cantik nan penuh estetika.

Langkah kedua, kita mulai menunggu tanggapan para pengikut kita pada postingan baru tersebut. 1 like, wah orang ini baik sekali. 2 likes, ah, terima kasih banyak! 3 likes, ayo, dong, bertambah lagi! Namun, tiba-tiba jumlah likes-mu berhenti di jumlah ke-6. Senyummu mulai memudar. Menyegarkan kembali halaman media sosialmu. Ke mana notifikasi-notifikasi menyenangkan itu? Kita mulai menurunkan harga diri kita tanpa kita sadari. Lalu memutuskan untuk menghapus postingan baru tersebut. Tidak ada yang menarik, itu hanya sebatas konten aneh yang lewat di halaman media sosial orang lain, kata kita dalam hati. Dan dari kata-kata itulah yang membuat lubang kebencian terdalam di dalam tubuh kita. 

Kita sibuk membandingkan diri kita di balik layar dengan postingan orang lain. Temanmu memublikasikan keberhasilannya di akun mereka, seorang bintang artis terkemuka memosting foto keluarga bahagia mereka, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu semua. Dan semua itu kita temukan di halaman media sosial. Lalu balon-balon kata muncul tepat di atas kepala kita, "Mengapa aku yang sudah setua ini masih di sini, bersantai ria dengan segala kefanaan dunia?", "Ah, wajahku memang seburuk itu rupanya.", "Tidak ada yang patut dibanggakan dari diriku.", dan seluruh kalimat-kalimat afirmatif negatif lainnya dari-diri-kita-untuk-kita. Self-esteemkita mulai berkurang, terkikis sedikit demi sedikit di makan waktu, hingga memunculkan perasaan-perasaan buruk yang tergali dalam hati. Lebih parah lagi, jika sudah ada pemikiran menyakiti diri sendiri. Hahaha, itu sungguh buah pikiran paling bodoh yang pernah diciptakan oleh manusia.

Selain itu, kita kerap menyalahkan diri kita sendiri dalam hal ini. Jika di dalam suatu pagi kita telah menargetkan suatu hal produkuf agar bisa dikerjakan di hari itu juga, maka sudah pastinya kita berharap agar itu terlaksana sepenuhnya. Namun, sebagian besar orang—termasuk diriku, kalau boleh jujur—nyatanya sering menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mengerjakan hal-hal produktif yang sudah direncanakannya. 

Salah satu penyebab utamanya adalah: Candu dengan media sosial. Ada satu notifikasi masuk, rasanya kurang jika kita tidak mengeceknya. Lalu kita buka, membaca, dan mulai membuka notifikasi-notifikasi menarik lainnya. Ah, mungkin aku bisa bermain dulu sebentar selama sepuluh menit. Lalu, kita mulai berseluncur lagi di atas media sosial hingga hampir sehari penuh. Dan itu semua berakhir dengan menyalahkan diri sendiri. Masih untung jika esoknya kita berhasil menuntaskan segala hal yang kita rencanakan. Namun, jika kebiasaan prokrastinasi atau menunda-nunda ini terlaksana terus-menerus, kita seakan mengafirmasi kepada diri sendiri bahwa diri kita adalah seorang perencana yang sungguh buruk dan itu juga dapat menciptakan rasa candu kita terhadap media sosial menjadi semakin longgar bak lautan luas.


FOMO (FEAR OF MISSING OUT)

FoMO atau Fear of Missing Out adalah suatu kecemasan sosial dari seseorang yang merasa cukup takut atas ketertinggalan informasi baru yang hadir di masyarakat sekitar. Maka, orang tersebut merasa bahwa dia harus mengetahui lebih dalam informasi yang sudah menyebar di kalangannya. 

Ketakutan ini sering sekali kurasakan selama bermedia sosial. Seakan aku harus mengetahui apa saja berita-berita terbaru, bahkan dalam hal yang paling tidak penting sekali pun. Atau mungkin, masyarakat mendorong kita agar mengetahui apa saja informasi terbaru dari orang-orang terdekat. Oh, si A sudah lulus TK! Hei, si B ternyata orang jahat dari dunia dongeng. Ya ampun, si C ternyata selama ini telah menikah dengan peri dari negeri kahyangan ....


Nah, mungkin itulah sebab-sebab mengapa aku memutuskan untuk melakukan hal yang tidak umum ini. Dan tujuanku menulis ini tidak untuk memaksa kalian untuk menghapus media sosial kalian. Aku hanya merasa bahwa aku tidak cocok berkecimplung di dunia maya dan memutuskan untuk menuruti kata hatiku. Maka, keluarlah aku dari dunia media sosial.

Jika media sosial memang membawa manfaat bagi dirimu, sebaiknya jangan dihapus. Itu mungkin bisa membuat dirimu merasa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Pada akhirnya, itu semua tergantung pada pilihan kita masing-masing, dan semua pilihan kita tentunya juga memiliki risikonya tersendiri. Peace.

The conqueror is within you.[]



Video-video yang mendorongku untuk mengabulkan kata-kata hati:

2 comments: