Aku
adalah satu. Manusia yang sedang berdiri dalam ruangan putih lagi sunyi. Hm,
tunggu. Apakah lebih baik di ruangan yang gelap saja? Itu lebih pas untuk
menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya: seorang insan yang sungguh memiliki
banyak salah dan lupa. Jadi, ya. Katakan saja aku adalah seorang manusia yang
berdiri dengan penuh kebingungan di ruangan hitam—hm, ini bisa dikatakan gelap,
kan?—lagi sunyi. Tidak ada cahaya, anggap saja. Aku mulai ke sana-ke mari,
mencari jalan keluar. Alih-alih ingin keluar, yang kudapatkan adalah benjolan
besar yang tergambar jelas di dahi lebarku.
Hm,
apakah benar dahiku lebar? Kurasa tidak. Tapi, banyak teman-temanku yang
mengatakan begitu; dan kurasa itulah faktanya. Dan aku sedikit bersyukur.
Dengan benjolan yang membekas, dahiku jadi tidak terlalu kelihatan lebar. Ah,
aku bebal sekali. Bagaimana mungkin aku tahu? Jelas-jelas di ruangan tanpa
sinar ini tidak memiliki satu pun cermin. Jikalau pun ada, aku tidak akan bisa
melihat bayanganku yang sungguh tampan.
Ah,
ya. Aku memang tampan; dan aku laki-laki. Kau tidak perlu tahu namaku siapa. Lagipula,
itu tidak terlalu penting. Kau akan segera menyesal lagi kecewa jika sudah
mengenalku. Aku mungkin bisa kaukatakan sebagai manusia paling busuk sedunia jika
sudah dekat denganmu. Jadi, sungguh, aku tidak ingin kejadian itu terjadi dalam
hidupku. Aku akan muak mengingat-ingatnya.
Keras
kepala sekali diri ini. Sudah tahu tidak akan menemukan jalan keluar, tetapi
tetap saja berkeliling mencari-cari pintu yang bisa membawa kepada kebebasan.
Tapi, memang itulah hakikatnya manusia; ia akan begitu panik jika berhadapan
dalam suatu masalah. Lihatlah aku. Mukaku sudah penuh dengan peluh yang tidak
kunjung berhenti mengucur. Aku sudah tidak mengingat lagi rasa sakit dari gunung
kecil di dahiku sekarang. Itulah kesalahanku. Dari benjolku itu, aku akan
berusaha hati-hati. Kujulurkan kedua tanganku ke depan dan membiarkan uluran
tanganku itu meraba-raba udara; siapa tahu kutemukan pintu atau setidaknya meraba
tembok agar aku tidak terbentur lagi.
Duh,
sudah berapa lama? Akhirnya aku menyerah setelah menggigit bibir sebagai tanda
putus asa. Aku terduduk. Ruangan ini begitu luas. Seluas Sungai Amazon atau
bahkan mungkin lebih dari itu. Lagipula aku tidak tahu luasnya seberapa—ruangan
ini begitu gelap, camkan itu. Ah sudahlah. Aku akan mencoba menjulurkan kedua
kakiku. Leganya. Aku menarik napas dalam-dalam. Udara di sini cukup memadai,
namun tidak sesegar kawasan terbuka yang banyak tanamannya. Lalu mengeluarkan
perlahan-lahan lewat mulut. Ah, aku merasa begitu hidup. Sebenar-benarnya
hidup.
Omong-omong
tentang hidup, aku pernah dan sepertinya sering sekali bertanya pada diriku
sendiri: Apa arti dari hidup?; Apa tujuan atas dihidupkannya aku di
atas muka bumi ini? Setelah bertanya-tanya menggunakan kedua pertanyaan
bodoh itu, tiba-tiba aku merasa ada guncangan hebat di dalam tubuhku. Tidak
tahu kenapa, perasaan sedih seakan membuncah sedahsyat-dahsyatnya. Aku
menangis; dan aku tidak bisa memercayai itu. Bergemul di atas kasur, menutup mata
rapat-rapat. Terisak-isak, tidak tahu mengapa—ah, sudahlah. Itu pengalaman
terburukku di awal masa remaja. Membayangkan akan masa depan; serta
memikirkan esensi diri dalam eksistensi dalam dunia.
Eksistensi
manusia. Itulah yang sering sekali muncul dalam benakku (oke, izinkan aku untuk
membahasnya lagi, diriku). Waktu kecil, aku selalu berpikir, “Besar nanti, aku
mau jadi orang kaya! Jadi, saat anakku ingin membeli sesuatu, aku akan
serta-merta membelikannya!” Polos sekali, seakan saat itu diriku amat mudah
mendapatkan uang seratus miliar per detik. Seiring berjalannya waktu, aku mulai
memikirkan lebih jauh lagi dari itu: dari mana uang itu berasal?; bagaimana kehidupan
dibalik orang dewasa?; dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dan, baru-baru
ini—atau mungkin sudah lama sekali—aku menyimpulkan suatu hal: uang adalah
segalanya bagi manusia. Demi sejumlah uang, tidak sedikit manusia yang menyimpang
dari kebenaran. Miris.
Astaga,
bisa-bisanya aku mengoceh dalam kegelapan seperti ini. Aku berbicara kepada
siapa? Kau?—tentulah tidak. Tugas kau sekarang hanyalah mendengarkan ocehanku. Lalu
tiba-tiba kudengar kaubertanya dalam hatiku, mendengar? Sudahlah, anggap
saja begitu. Ya ampun, aku akan menjadi gila di ruangan tanpa cahaya ini. Bertutur
tidak teratur tentang kehidupan yang secara spontan melintas di pikiranku; dan
sempat-sempatnya terduduk santai di tengah ruangan luas nan gelap ini. Ah,
benar-benar. Lama-lama aku akan menjadi gila—maksudku, bertambah gila karena memang
aku sudah gila semenjak beberapa menit yang lalu—dan akan mengakhiri
hidupku dengan membanting kepalaku ke dinding yang keras berkali-kali hingga kehabisan
darah.
… bersambung, kayaknya.
Keren gitu ka
ReplyDelete